Tulisan berikut, barangkali
tidak termasuk profil secara spesifik. Lebih ke catatan pribadi. Tetapi semoga
tetap bermanfaat, tulisan saya ambilkan dari blog, http://sebelumsunyi.blogspot.com
Ijazah TPA Prayan Tempo Dulu
Pada tahun ini, 2010, ketika
membereskan dokumen-dokumen lama di rumah, saya menemukan ijazah yang saya
dapat dari TPA (Taman Pendidikan Al Qur’an) Prayan sebagai tanda LULUS sebagai
santri di TPA tersebut. Hasil scan ijazah tersebut (gambar diatas) sedikit
rusak di bagian foto. Maklumlah, sudah berumur hampir 15 tahun (ijazah
diperoleh tahun 1995 ketika saya kelas 6 SD). Ijazah ditandatangani Pak Jazuli
dan Mas Munar. Beberapa informasi dari ijazah yang saat ini tidak perlu
dipublikasikan sengaja saya blok :).
Sejenak saya mengingat-ingat
cerita perjalanan saya belajar di TPA Prayan untuk saya tuliskan.
Sebenarnya pertama kali
dalam belajar membaca Al Qur’an saya diajari oleh Ayah menggunakan buku iqro’.
Hal tersebut terjadi ketika saya masih kecil (sekitar umur 6 tahun). Waktu itu
saya setahu saya, iqro’ adalah bagian dari Al Qur’an. Terdiri dari 6 jilid.
Sampul dari karton. Ditulis oleh As’ad Humam dan tim AMM Kotagede. Saat saya
beranjak besar baru tahu bahwa iqro’ adalah sebuah metode belajar membaca Al
Qur’an.
Kembali ke cerita, waktu itu
masjid di kampung saya belum serapi sekarang organisasinya (sekarang juga belum
rapi-rapi amat sih..), sehingga Ayah memasukkan saya ke TPA Prayan yang
terletak di desa sebelah. Jaraknya sekitar 1 km dari rumah saya tempuh dengan
sepeda.
Hari pertama masuk ke TPA
Prayan, saya sudah membawa Al Qur’an besar berwarna biru. Saat itu saya memang
sudah sedikit bisa membaca Al Qur’an hasil didikan Ayah. Ketika TPA dimulai,
santri diharuskan tes agar diketahui kemampuan dasar untuk penentuan tingkat
kemampuan membaca Al Qur’an. Dengan percaya diri dan penuh harap saya bilang ke
penguji waktu itu, Bpk Nurhadi. Saya bilang bahwa saya sudah Al Qur’an. Harapan
saya supaya langsung ke tingkat Al Qur’an, tidak perlu belajar Iqro’ lagi.
Ternyata keputusan akhir Bpk Nurhadi mengharuskan saya belajar Iqro’ lagi.
Kalau tidak salah mulai Jilid 4. Sedikit jengkel juga saat itu. Jengkel ala
anak kecil yang hanya dipendam. Saat ini, Bpk Nurhadi adalah Ketua Cabang
Muhammadiyah Kecamatan Minggir, senior saya di persyarikatan yang sering kerja
bareng. Dan sampai saat ini pula saya tidak pernah menanyakan ke beliau alasan
saya dulu diharuskan belajar dari Jilid 4. Saya menerka karena memang bacaan Al
Qur’an saya masih belum lancar.
Jaman saya TPA Prayan memang
terkenal disamping TPA Suronandan. Anak-anak sebaya di kampung saya banyak yang
ke TPA Prayan, sebut saja Saya, Malul, Jati, Sekar, Tio, Tia, dll. Sedangkan
teman sebaya di kampung yang ke TPA Suronandan gak banyak. Setahu saya hanya
kakak beradik Amir dan Ahmad. Saat kami kecil kami begitu semangat untuk
belajar di TPA. TPA tiap Rabu dan Sabtu dimulai dengan Ashar berjama’ah sampai
pukul 17.30. Biasanya saya berangkat daru rumah pukul 14.30, ngampiri 3 kakak
beradik Malul-Jati-Sekar. Kadang mereka belum mandi, sehingga saya menunggu
mereka. Tapi menunggu mereka mandi adalah menuggu yang tidak menjemukan, bahkan
kadang selalu dinanti, karena saya menunggu sambil nonton film kartun. Seingat
saya nama filmnya Bumpty Boom (mobil yang bisa bicara), dan Speed Racer
(balapan).
Banyak ustadz yang saya
tahu, Mas Munar, Mbak Murin, Mbak Dewi, Mas Zahrowi, Mas Widodo, Mas Rusi, dll.
Dari sekian banyak ustadz yang ada, Mas Zahrowi-lah yang jadi favorit saya.
Nggak galak dan enak cara ngajarnya. Saat ini, Mas Zahrowi sesekali juga
menjadi rekan kerja bareng di persyarikatan. Beliau dari ranting Sendangsari.
Saya dari ranting Sendangrejo. Ketemu di Cabang Minggir. Mas Rusi terkadang
juga ketemu, saat ini beliau aktif di Pelatihan Shalat Khusyuk.
Santri TPA Prayan waktu
sangat banyak. Membaca majalah Taman Melati, jajan es, main petak umpet,
menyanyikan mars dn hymne TPA dari balik Iqro’ adalah kebiasaan santri-santri.
Sesekali kami diajari Bahasa Inggris oleh mbak Dewi. Kosakata yang saya ingat adalah
ballon, whiteboard, dan blackboard yang diajarkan di ruang TK sebelah mushola.
Syarat lulus dari TPA Prayan
salah satunya adalah sudah bisa membaca Al Qur’an dengan kemampuan cukup baik.
Pada tahun 1995 saya menjadi salah satu dari wisudawan. Acara wisuda akan
digelar di malam hari dengan mengundang wali santri dan beberapa tokoh. Salah
satu tokoh yang datang adalah Ibu Sitoresmi. Saat itu, setahu saya Ibu
Sitoresmi adalah orang besar dari kota. Hadir sebagai apa saya tidak tahu.
Tokoh lain yang datang adalah Bpk Gelael Martono (kalau tidak salah) yang
memberikan pengajian. Acara wisuda juga diramaikan dengan opera dan pembacaan
puisi. Bagi saya, ikut sebagai pemain dalam opera adalah hal yang membanggakan.
Saya akan merasa sangat senang kalau saya bisa ikut memainkan peran dalam opera
tentang perjuangan Nabi melawan jahiliyah. Saya mengharap dapat tugas sebagai
pemain opera.
Pembagian tugas dimulai. Ada
yang baca puisi, opera, dll. Tibalah saatnya saya dikasih kabar. Akhirnya saya
dijatah jadi MC bareng Istak. Sedangkan Malul mendapat jatah sebagai pembaca
puisi berjudul “Ibu”.Kecewalah saya karena gagal bermain dalam opera.
Panggung megah dibuat di
depan rumah Simbah (Ibu Mas Rusi), tepat di depan tembok ruang tamu beliau.
Panggung ditutup tirai yang dapat terbuka ke atas jika talinya yang terletak di
balik tembok ruang tamu Simbah ditarik.
Hari H datang, acara dimulai
malam hari. Saya ingat saat itu saya memakai celana panjang hijau tua merk
Freeway yang kata Ibu saya itu adalah celana yang bagus. Pada hari H, ketika
saya harus siap menjadi MC, saya masih memendam keinginan yang sangat untuk
bisa main opera. Bahkan beberapa menit sebelum acara dimulai pun saya masih
ingin main di opera. Ketika acara akan dimulai, saat itu juga keinginan saya
harus dikubur. Saya pasrah jadi MC.
Acara pun dimulai. Saya dan
Istak segera mengambil posisi berdiri di atas panggung dengan tirai panggung
yang masih tertutup. Saat acara dimulai, tirai ditarik naik ke atas sementara
kami yang sudah standby di atas panggung disorot lampu yang menerpa wajah kami.
Ratusan mata hadirin melihat ke kami dan pertanda acara dimulai adalah ketika
pertama kali kami berdua mengucapkan: “Assalaamu’alaikum wa rahmatullahi wa
barakaatuh..”
Satu persatu acara dimulai,
setiap selesai bicara di depan kami segera duduk sebelah panggung. Tibalah
saatnya opera tampil. Saat menjelang opera dimulai, Istak meninggalkan saya,
katanya mau ikut opera. Wah, saya sendirian. Opera pun dimulai. Beberapa pemain
yang ikut antara lain Mardiman sebagai Umar bin Khattab yang memusuhi Nabi
tetapi kemudian luluh dengan bacaan Al Qur’an Fatimah yang diperankan Atit.
Saat itu Atit memakai pakaian warna putih. Heri dari kampung sebelah berperan
sebagai orang yang digantung. Santo teman SD saya ikut dalam gerombolan jahiliyah.
Istak entah jadi apa, sepertinya dia cuma ingin rame-rame bersama kaum
jahiliyah. Fragmen cerita jahiliyah adalah ketika music ala pesta pora
dimainkan, pemain-pemain yang berperan sebagai kaum jahiliyah segera berakting
mabuk, main kartu, ngakak-ngakak, dan goyang gak karuan. Santo menyebar kartu
ke atas sehingga suasana tampak semakin ramai. Ramai sekali waktu itu, penonton
tampaknya sangat terhibur dengan acara itu. Dan saya tidak ikut menghibur
mereka…
Entah kenapa saat itu saya
merasa kecewa karena mendapat peran MC. Kekecewaan anak kecil yang saat ini
alhamdulilah sudah hilang. Terimakasih kepada para pendidik TPA Prayan, semoga
ilmunya bermanfaat bagi kita semua.
sumber: sebelumsunyi.blogspot.com
0 comments:
Post a Comment